BAB I
PENDAHULUAN
I. Kata pengantar
Assalamua’alaikum wr. Wr
Sengaja saya mengambil “ pendidikan dan membangun karakter bangsa” sebagi topic untuk penulisan malak in, karena topic ini sangat menarik untuk dikembangkan dan dibicarakan . sebagai penulis awan saya menyadari tuliasn ini masih banyak kekurangan daik dari segi isi maupun tata cara penulisan, oleh sebab itu saya harapkan pada siapa saja yang membaca agar dapat member komentar. Harapan saya makalah ini bisa menambah wawasan dan pegetahuan saya serta siapa saja yang membaca.
Demikianlah kata sambutan dari saya, lebih dan kurang saya mohon maaf.
Wassalam
devi pu
II. Latar Belakang
Pembangunan karakter bangsa merupakan komitmen kolektif masyarakat Indonesia menghadapi tuntutan global dewasa ini. Sebagai perwujudan dari komitmen tersebut, dibuatlah undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menjelaskan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Cita-cita luhur bangsa sebagai mana tertuang dalam tujuan pendidikan nasional tersebut adalah perwujudan nilai moral bangsa yang harus tertanam dan mengakar dalam pola hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh karena itu, pendidikan karakter bangsa menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan pola pembinaan, baik yang dilakukan dalam rumah tangga, masyarakat, dan sekolah sebagai pioneer yang paling berperan dalam pembentukan karakter atau watak anak.
Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang melalui media cetak dan eletronik seolah telah mengambil alih fungsi-fungsi pendidikan orang tua, masyarakat, dan guru. Arus global yang bergerak begitu cepat melalui media Internet yang serba digital telah berhasil mengubah paradigm, pola dan gaya hidup, dan bahkan tata nilai, sikap dan prilaku yang berdampak pada menipisnya sendi-sendi moral dan akhlak anak bangsa yang berimbas pada memudarnya karakter bangsa. Keteladanan yang ditanamkan oleh para pendiri bangsa semakin lama semakin menipis, mulai dari memudarnya keteladanan para pemimpin, tokoh masyarakat, orang tua, dan bahkan guru sebagai pengemban utama pendidikan formal di sekolah.
Realitas memudarnya nilai-nilai keteladanan guru (dalam tanda kutip) dapat ditunjukkan dengan hasil temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan bahwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh tenaga pendidik atau guru menunjukkan hasil yang cenrung semakin tinggi dari waktu ke waktu. Data yang diperoleh pada tahun 2007 menunjukkan bahwa tercatat 555 kekerasan terhadap anak dan pelakunya sebanyak 18 persen dilakukan oleh orang-orang terdekat dan sebanyak 11,8% kekerasan dilakukan oleh guru terhadap anak-anak muridnya. Sementara itu, penelitian KPAI selama enam bulan pada tahun 2008 justru memperlihatkan grafik yang semakin meningkat, yakni tercatat 86 kekerasan terhadap anak dan sebanyak 39% kekerasan dilakukan oleh guru (Republika Newsroom, 2009). Kekerasan guru terhadap murid dapat ditinjau dari empat dimensi, yakni (1) kekerasan verbal, (2) kekerasan fisik, (3) kekerasan psikologis, (4) kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme (Les, 2009).
Kekerasan verbal mencakup penggunaan stereotip-stereotip dan penamaan yang bermuatan seksi, rasis, kultur, sosio-ekonomi, ketidaksempurnaan fisik, dan homofobik. Kekerasan fisik meliputi tindakan mendorong, mencubit, menjambuk, menjewer, memukul dengan penggaris, atau melemparkan sesuatu. Kekerasan psikologis terjadi melalui tindakan berteriak, berbicara dengan kasar, menyobek hasil kerja, mengadu domba siswa, dan membuat ancaman-ancaman. Sedangkan, kekerasan yang berkaitan dengan profesionalisme dapat terjadi melalui penilaian yang tidak adil, menerapkan hukuman dengan pilih kasih, menggunakan cara-cara pendisiplinan yang tidak pantas, mengarahkan pada kegagalan dengan menetapkan standar yang tidak wajar, membohongi rekan kerja, orang tua siswa, atasan mengenai perilaku siswa, mengambil kesempatan dengan menggunakan materi-materi atau pengayaan, mengintimidasi orang tua karena hambatan bahasa, budaya, atau status sosial ekonomi.
Berangkat dari berbagai realitas seperti telah dijabarkan di atas, penulis ingin mengkaji pentingnya keteladanan pendidik dalam pembentukan karakter peserta didik. Makalah ini akan dimulai dengan konsep dasar keteladanan kemudian diakhiri dengan pentingnya keteladanan pendidik dalam membentuk kepribadian peserta didik.
III. Daftar Isi
I. Pendahuluan ==================================
II. Kata Pengantar =================================
III. Latar belakang==================================
IV. Li ngkup pendidikan dan membangun karakter bangsa ======
V. Makna pendidikan ===============================
VI. Perkembangan Pendidikan ============================
VII. Pendidikan karakter ==============================
VIII. Peranan pendidik dalam membentuk karakter bangsa ======
IV. Lingkup pendidikan dan membangun karakter bangsa
Mulai dari tingakat akar rumput hingga tingkat elit bangsa. Penertiban pedagang pasar, pembebasan tanah sengketa, penilihan lurah, pemilihan kepala daerah, pertandinag sepak bola, demontrasi mahasiswa, pemilihan dekan – rector, sedang anggota dewan yang terhormat, sekedar menyebut beberapa contoh , semuanya ricuh , bahkan terkadang rusuh yang diwaranai bentrok fisik yang memakan korban jiwa. Begitu pula tindak kejahatan koropsi bukan lagi berbilang jari, namun telah memasuki elit bangsa baik di lembaga legislative, eksekutif, bahkan lembaga penegak hokum sehakalian. Akibatnay bagsa ini semakin terpuruk. Kata nasionalisme hanya terucap ketika upacara, dalam pidato, atau seminar – seminar. Di sisi ekonomi, sejumlah penduduk masih hidup miskin di negri yag kaya raya sumber daya alamnya ini,. Jurang kaya – miskin semakin dalam. Kehidupan social masyarakat kita semakin jauh dari berbagai regulasi dan norma yang ada. Para aportumis ekinomi dan politik ekonomi dan politik semakin Berjaya dinegri ini. Suatu ironi memang.
Semua perilaku social yang mencenaskan itu hsnys disikapi degna reaktif dan cendrung menggukanan pendekatan kaamanan. Tidak ubahnya seperti tindakan pemadam kebakaran. Berbagai tindakan tersebut menerminkan kegaganlan bangsa membangun karakter sebagai ;pilar utama bangsa bermartabat. Hingga hari ini belum ada pemikiran yang konferhensif untuk menjawab mengapa itu terjadi ,sehingganya belum upaya untuk mengatasi semua masalah tersebut.
Berbagai fakta tersebut mencemaskan kita. Bila dibiarkan, maka disintegrasi social kian enghadang kita. Oleh sebab itu sudah saatnya memikirkan solusi nyata untuk mengatasi persoalan tersebut. Jika tidak, bangsa ini akan semakin jauh dari peradaban sejati. Panca sila sebagai way of life akan tinggal tilisan diatas kertas. Siapa yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Tulisan ini mencoba melihat dari spektif pendidikan. Masyarakat yang baik dalak produk pendidikan yang baik. Banyak hasil pendidikan menunjukan system pendidikan dan system pembelajaran ekektif berpengaruh positif terhadap kehidupan social masyarakat. Negara – Negara maju yang telah menjadi bukti bahwa pendidikan yang efektif membawqa perubahan terhadap kemajuan masyarakat. Tidak haya perubahan terhadap kehidupan social ekonomi, namun akan membawa perubahan terhadap kehidupan social mecara keseluruhan termasuk dalam karakter bangsa.
Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dap roses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan pritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian , kecerdasan ahlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara ( UU RI No 20 tahun 2003, Sisdiknas pasal 1). Selanjutnya dalam pasal 3 dijelaskan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta perdaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa , berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kraktif,mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jadi jelas, bahwa pembentukan karakter dan perilaku adalah tanggung jawab pendidik. Bila merunjuk kepada pasal undang – undang tersebut, maka realitas proses out put dan out come pendidikan kita hingga hari ini masih jauh dari harapan. Proses pembelajaran disekolah masih saja menekankan pada aspek kognitif. P-embelajaran di kertas kering dengan transpormasi nilai – nilai.
Mata pelajaran ditempatkan ditempatkan sebagai tujuan dan belum ditempatkan sebagai media membentuk prilaku dan karakter peserta didik untuk menjadi warga Negara yang baik. Pembentukan karakter dan prilaku masih kalah dengan muatan akademis, apabila mata pelajaran yang masuk dalam UN/ UASBN .Setiap sekolah seolah Sekolah hanya menrurus mata pelajaran buka mengurus pendidikan. Pendidikan perilaku banyak berupa nasehat. Padahal nasehat hanya sebagian kecil dari pendidikan.
Disamping itu ide pendidikan perilaku masih terjebak pada soal judul. Pendidikan budi pekerti, akhlak mulia, atau pendidikan kewarganegaraan. Juga memprihatinkan, pendidikan pendidikan perilaku sekedar dijadikan pengetahuan, yang ujungna di ujikan dalam bentuk memilih abcd. Akibatya peserta didik tahu hal yang baik, tetapi miskin perilaku baik. Lalu, dimana letak benang merah persoalannya?
Kantin kejujuran
Persoalan pendidikan kartakter dan perilaku sebenarnya bukan terletak pada content kurikulumnya. Tetapi bagaimana perilaku itu diajarkan dan bagaimana karakter individu yhang mengajarkan . hal itu sejalan dengan konsep pendidikan modern yang lebih menekankan pada pentingnya pendekatan dibandingkan apa yang diajarkan. Kantin kejujuran yang telah dipelopori oleh beberapa sekolah di sejumlah kota adalah contoh kasus yang amat baik dan efektif dalam mengajarkan perilaku jujur. Jujur adalah nilai – nilai universal. Kantin kejujuran tidak hanya memngajarkan perilaku jujur disekolah, tetapi juga dampak pada perilaku anak diluar sekolah dalam bentuk apa saja dan dimana saja dia berada. Misalnya sikap empati.
Kalau orang lain rugi karena perilaku korup saya , lalu bagai mana seandainya saya mendapat perlakuan demikian. Perilaku dan budaya antri juga dapat di tanamkan melalui kantin kejujuran. Ketika aturan kantin kejujuran disusun bersama guru dan peserta didik, itu artinya pendidikan demokrasi telah berjalan. Dan ketika kesepakatan dijalankan, maka peserta didik telah belajar untuk taat hukum. Dengan demikian akan terjadi internalisasi esensi dari pembentukan karakter. Para ahli menyebut, pembentukan karakter sangat intens pada usia 0 -10 th. Penglaman belajar pada usia awal akan tersimpan dalam memori otak bawah sadar, dimana otak bawah sadarlah akan mengendalikan perilaku.
Jadi tidak perlu diajarkan difenisi jujur , definidi korupsi, definisi taat, definisi hukum sebagaimana kecendrungan pembelajaran dikelas hari ini.
V. Makna pendidikan
Banyak kalangan memberikan makna tentang pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya masing-masing. Azyumardi Azra dalam buku “Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi”, memberikan pengertian tentang “pendidikan” adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.
Di samping itu, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.
VI. Perkembangan Pendidikan
Bangkitnya dunia pendidikan yang dirintis oleh Pahlawan kita Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada massa lalu, sungguh sangat berarti apabila kita cermati dengan saksama. Untuk itu tidak terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar memperingati hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei ini, sebagai bentuk refteksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada terhingga kepada para Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Di samping itu, betapa jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang dimiliki para pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa. Lantas bagaimana perkembangan sekarang? Sangat ironis, memang. Banyak para pemuda kita yang tidak memiliki jiwa besar, bahkan sangat mengkhawatirkan, janganjangan terhadap lagu kebangsaan kita pun sudah tidak hafal, jangankan menghayati. Namun, kita sangat yakin dan semakin sadar, bahwa hanya melalui dunia pendidikanlah bangsa kita akan menjadi maju, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di dunia, sekaligus merupakan barometer terhadap kualitas sumber daya manusia.
Krisis moneter yang berlanjut dalam krisis ekonomi yang terjadi hingga puncaknya ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998 yang lalu, telah mendorong reformasi bukan hanya dalam bidang politik dan ekonomi saja, melainkan juga terimbas dalam dunia pendidikan juga. Reformasi dalam bidang pendidikan, pada dasarnya merupakan reposisi dan bahkan rekonstruksi pendidikan secara keseluruhan atau secara komprehensif integral. Reformasi, reposisi dan rekonstruksi pendidikan jelas harus melibatkan penilaian kembali secara kritis pencapaian dan masalah-masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Apabila kita amati secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dan harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building), bahkan terjadi adanya degradasi moral.
VII. Pendidikan Karakter
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.
Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan
yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan “tuntunan” bukan “tontonan”. Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan “among”‘ yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha “mengadaptasi” pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingklingan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh. Semoga ke depan bangsa kita lebih beradab, maju, sejahtera kini, esok dan selamanya. Seiring dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Tahun 2007 yang lalu dan mereka yang lahir pada tanggal yang sama, semoga panjang umur dan berjiwa pendidik yang patut disuri tau-ladani generasi yang akan datang, bahkan lestari selamanya.
VIII. Peranan pendidik dalam membentuk karakter anak bangsa
Keteladanan adalah making something as an example, providing a model yang artinya, menjadikan sesuatu sebagai teladan, menyediakan suatu model (Kamus Landak, 2010). Istilah keteladanan banyak diadopsi dari bahasa Arab uswah yang terbentuk dari huruf-huruf hamzah, as-sin, dan al-waw. Secara etimologi, setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki persamaan arti yaitu pengobatan dan perbaikan. Ibn Zakaria dalam Arief (2002) menjelaskan bahwa uswah dapat diartikan dengan qudwah yang merujuk pada makna mengikuti atau yang diikuti.
Dengan demikian, keteladanan dalam tulisan ini adalah segala sesuatu yang terkait dengan perkataan, perbuatan, sikap, dan prilaku seseorang yang dapat ditiru atau diteladani oleh pihak lain. Sedangkan guru atau pendidik adalah pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang bijaksana, pencetak para tokoh dan pemimpin umat (Isa, 1994). Jadi, keteladanan guru adalah contoh yang baik dari guru baik yang berhubungan dengan sikap, prilaku, tutur kata, mental, maupun yang terkait dengan akhlak dan dan moral yang patut dijadikan contoh bagi peserta didik.
Hal ini penting dimiliki tenaga pendidik untuk dijadikan dasar dalam membangun kembali etika, moral, dan akhlak yang sudah sampai pada tataran yang menyedihkan. Azrah (2008) menyebutkan bahwa sejak tahun 1990-an nilai-nilai moralitas sudah terasa merosot tajam. Penyebabnya adalah arus globalisasi yang begitu deras sehingga memunculkan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang lebihpermissiveness (bebas). Nilai-nilai global dengan mudah meresap dalam kehidupan masyarakat tanpa adanya sensor yang lebih ketat. Dengan kata lain, sejak itu pula telah terjadi proses pelonggaran terhadap nilai-nilai etika dan moral. Di tengah-tengah proses degradasi tersebut, justru negara ini mengalami kesulitan untuk membendung karena kesulitan untuk menemukan keteladanan yang bisa dijadikan panutan bersama. Pada sisi yang lain, rasanya sulit untu membendung arus globalisasi yang demikian pesat. Oleh karena perlu hadirnya tenaga pendidik yang mumpuni yang dapat menjalankan fungsinya untuk mengeliminir arus globalisasi.
– Pentingnya Keteladanan Seorang Pendidik
Dalam teori difusi inovasi, peranan opinion leader (pemimpin opini) memegang posisi sentral dalam mempengaruhi keberterimaan suatu hasil inovasi dalam suatu kelompok masyarakat tertentu (Roger, 2004). Hal ini terjadi karena pemimpin opini memiliki keteladanan yang dapat ditiru dan diikuti oleh kebanyakan pihak lain. Tenaga pendidik sebagai opinion leader dalam lingkungan institusi pendidikan juga memiliki posisi sentral dalam
membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Keteladanan dalam diri seorang pendidik berpengaruh pada lingkungan sekitarnya dan dapat memberi warna yang cukup besar pada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan, keteladanan itu akan mampu mengubah prilaku masyarakat di lingkunganya. Sosok tenaga pendidik seperti guru, atau dosen dengan profesinya melekat di mana saja mereka berada, sehingga kata „‟guru‟‟ selalu dipergunakan sebagai identitas, baik ketika melakukan aktivitas yang berkaitan dengan dunia pendidikan, maupun kegiatan di luar ranah pendidikan. Sekalipun demikian, karakteristik dan indikator guru teladan itu masih menjadi sangat dilematis mengingat belum adanya standar baku yang dapat dijadikan landasan dasar untuk membangun keteladanan itu sendiri.
Salah satu karakteristik yang perlu dimiliki oleh guru sehingga dapat diteladani oleh muridnya adalah kerendahan hati (Santoso, 2008). Guru akan memiliki kebribadian yang diidolakan jika berani mengakui kesalahan (jika memang telah terjadi kesalahan) sebagai perwujudan kerendahan hati. Sering terjadi, seorang guru dengan dalil menjaga kewibawaan sering tidak berprilaku rendah hati di hadapan siswa padahal guru tidak menyadari bahwa setiap langkah, tutur kata, cara pandang, dan berbagai respon yang ditampilkan menjadi bahan penilaian dan pembicaraan bagi para siswa. Tentu saja keteladanan buruk mengacaukan pemahaman mereka, yang berujung pada pencitraan konsep diri menjadi kurang baik. Pada prinsipnya, terdapat korelasi positif antara keteladanan guru dan kepribadian siswa, yang oleh Johnson digambarkan sebagai“No matter how brilliant your plan, it won’t work if you don’t set an example ” (bagaimana pun briliannya perencanaan anda, itu tidak akan berjalan jika tidak dibarengi dengan keteladanan). Dengan demikian, guru dipandang sebagai sumber keteladanan karena sikap dan perilaku guru mempunyai implikasi yang luar biasa terhadap siswa (Nuh, 2009).
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, keteladanan tenaga pendidik yang harus ditanamkan ke pada peserta didik mencakup integritas, profesionalitas, dan keikhlasan.
1. Integritas
Integritas dalam Kamus Landak (2010) didefinisikan sebagai “wholeness, completeness, entirety, unified”. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam Seluruh aspek hidup, khususnya antara perkataan dan perbuatan. Integritas berarti,” the condition of having no part taken away” atau “the character of uncorrupted virtue.” Seringkali kita menggunakan kata integritas, etika, dan moralitas secara bergantian untuk menunjukkan maksud yang sama. Padahal secara sederhana,etika adalah standar tentang mana yang benar dan salah, baik dan jahat. Apa yang kita pikibenar dan baik, itulah etika kita. Sedangkanmora litas adalah tindakan aktual tentang hal yang benar dan salah, baik dan jahat. Jadi, kalau etika ada di level teoretik, maka moralitas ada di level praktik.Integritas sendiri adalah integrasi antara etika dan moralitas. Semakin terintegrasi, semakin tinggi level integritas yang ada (Glorianet, 2010: 3). Dengan demikian, integritas dapat menghasilkan sifat keteladanan seperti kejujuran, etika, dan moral.
Kejujuran adalah investasi sosial yang harus dimiliki dan ditulari oleh guru untuk menimbulkan kepercayaan dari murid dan orang tua, masyarakat, dan para stakeholder. Kejujuran adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya. Oleh karena itu, kejujuran harus menjadi senjata yang paling ampuh bagi guru dalam menjalankan tugas prefesinya sehingga nilai-nilai kejujuran itu dapat ditanamkan dalam diri siswa atau peserta didik.
Moral dan etika pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menurut keyakinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak. Dengan demikian prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar dan yang salah yang mereka yakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah merupakan sistim dari prinsip-prinsip moral termasuk untuk melaksanakannya (Suryokusumo, 2010). Jadi, integritas yang ditunjukkan oleh guru dalam menjalankan tugas berdasarkan profesi keguruannya berupa adalah kejujuran, kepatuhan, etika, dan moral seharusnya mengakar dalam pribadi guru sehingga dapat menjadi idola bagi siswanya.
2. Profesionalitas
Profesional berasal dari kata profesi yang artinya satu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Pengertianprofe s iona l adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan, yang memenuhi standar, mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005). Berbicara mengenai profesional, pemikiran orang tertuju pada dua hal.Pertama, orang yang menyandang suatu profesi. Orang yang profesional biasanya melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya dan mengabdikan diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggungjawab atas kemampuan profesionalnya itu.Kedua, kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya (Saudagar dan Ali Idrus, 2009).Profesi adalah suatu jenis pekerjaan yang berkaitan dengan bidang (keahlian, keterampilan, teknik) tertentu, semakin ahli, maka semakin profesional pekerjaannya. Sedangkan yang dimaksud denganprofesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
(2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia,
(3) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas,
(4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas,
(5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan,
(6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja,
(7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat,
(8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dan
(9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. Prinsip-prinsip tersebut tercermin dalam setiap cara berpikir, bertindak dan berprilaku baik dalam menjalankan aktivitas pembelajaran di sekolah maupun setelah berada di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Profesionalisme adalah kemahiran yang dimiliki oleh seorang yang profesional (Princeton, 2009). Dengan kata lain profesionalisme dipandang sebagai suatu keahlian yang melekat pada diri seseorang dalam melakukan segala bentuk pekerjaan secara profesional. Lebih jauh profesionalisme merupakan proses pemberian pekerjaan yang menjadi profesi untuk mencapai status profesional.Profesionalisasi adalah proses atau perjalanan waktu yang membuat seseorang atau kelompok orang menjadi profesional. Sedangkan,profesionalitas merupakan sikap para anggota profesi yang benar-benar menguasai profesi yang dimilikinya. Dalam perspektif teori yang berhubungan dengan praktek-praktek pendidikan, konsep professionalism (profesionalisme),professionality (profesionalitas, and professional development (pengembangan professional) sering menjadi kajian menarik untuk didiskusikan. Pengembangan professional juga dipandang sebagai kegiatan yang berorientasi pada tujuan untuk memperbaiki pembelajaran (Keller, 2003). Pengembangan professional sering digunakan secara sinonimik dengan pengembangan staf dan pengembangan guru yang merujuk pada segala upaya yang dilakukan untuk memperbaik pembelajaran yang dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan. Jadi, yang dimaksud dengan profesionalisme guru di sini adalah komitmen guru sebagai tenaga pendidik yang memiliki keahlian dalam ilmu kependidikan dan secara terus-menerus meningkatkan kemampuan untuk melalukan tugas-tugas keprofesionalannya. Dengan demikian, guru profesional adalah guru yang memiliki idealisme, komitmen, kualified, kompeten, tanggungjawab, prediktif, analitik, kreatif, dan demokratis. Siswa yang menjadikan guru sebagai idola akan berusaha untuk mencontohi dan meneladani sifat-sifat professional ini dalam bertindak dan bertutur.
3. Keikhlasan
Nampaknya integritas dan profesionalitas saja belum dapat membangun personalitas tenaga pendidik yang patut dijadikan contoh bagi peserta didik, tetapi harus melibatkan keikhlasan yang terlahir dari hati yang bersih dan akhlak yang terpuji. Keikhlasan adalah suatu kondisi jiwa yang termotivasi secara intrinsik untuk melakukan suatu perbuatan atas dasar penyerahan diri ke pada sang pencipta, bukan karena motivasi ekstrinsik ingin dilihat dan didengar, mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi dari orang lain.
Tanesia dan Daniel (2010) dan Santoso (2010) menjelaskan tentang hakekat ikhlas yang menghasilkan berbagai manfaat dalam menjalankan tugas.Pertama, keikhlasan dapat menjernihkan pikiran seseorang untuk berbuat demi untuk kemaslahatan umum, berpikir jauh ke depan, dan tidak berpikir primordial. Segala perbuatan, perkataan, dan perasanaan secara totalitas dipersembahkan kepada keridhaan sang pencipta.Kedua, terhindar dari keinginan dan perbuatan buruk yang
tidak mendatangkan manfaat. Pengorbanan waktu, tenaga, dan harta hanya untuk tujuan mendatangkan kebaikan bagi semua orang.Ketiga, segala kontribusi yang diberikan bukan untuk ditukarkan dengan segala sesuatu yang berbentuk materi, melainkan bernuansa sosial.Keempat, mengembangkan silaturahim antara sesama manusia. Seorang guru dalam melaksanakan profesinya, seharusnya mengintegrasikan keikhlasan ini dalam mengiringi setiap aktivitas pembelajaran sehingga menjadi modal social yang perlu diteladani oleh peserta didik.
Kesimpulan
Pendidikan adalah suatu ujung tombak yang menentukan berkembangan tidaknya suatu Negara. Pembangunan pendidikan yang dimaksud bukan pendidikan formal seperti yang umum dibicarakan melainkan membentuk pribadi dan karakter anak bangsa, yang beriman pada Tuhan Yang Maha Esa, Kreatif, Jujur, Berwawasan, dan berjiwa pancasila. Jika pembangunan pendidikan dan karakter anak bangsa telah optimal maka Negara tersebut akan berkembang baik di segi ekonomi, social, politik dan pembangunan yang menunjang kemajuan.
Penutup
Demikianlah makalah dengan topic “ Pendidikan dan membangun karakter bangsa “ saya buat semoga bermanfaat. Dan jika ada kesalahan isi ataupun penulisan dalam makalah ini saya mohon maaf dan dapat dimaklumi
Sebagai kesimpulan, keteladanan pendidik untuk memiliki integritas, profesionalitas, dan keikhlasan akan dapat membangun karakter peserta didik sehingga mampu mengintegrasikan nilai-nilai kejujuran, moral, etika, kepatuhan, keikhlasan,
keluasan ilmu, sopan-santun, dan tanggung jawab ke dalam perkatanaan, perasaan, sikap, dan prilaku yang berujung pada pembangunan karakter bangsa secara keseluruhan.
foto devi
spita sari